Monday 22 November 2010

Profesi Guru Digugat

TANGGAL 25 November 2010 diperingati sebagai hari Guru Nasional yang ke-17, berbarengan dengan HUT PGRI, wadah organisasi profesi guru yang ke-65. Sejarah perjalanan profesi guru di republik ini cukup panjang dan berliku.
Di era tahun 60-an guru dipandang sebagai profesi yang tidak menguntungkan dan tidak bergengsi bahkan menjadi olok-olok oleh sebagian masyarakat.  Saat itu gaji guru sangat kecil sehingga banyak guru yang kehidupannya tidak layak jika mengandalkan dari profesinya sebagai guru. Tidak heran di era tersebut banyak guru yang beralih profesi menjadi tentara yang pada saat itu dipandang lebih terhormat dan bergengsi.
Fase berikutnya muncullah sosok guru yang digambarkan oleh Iwan Fals dalam lagunya Oemar Bakri, figur yang selalu pasrah menerima perlakuan tidak adil dari penguasa terhadap hak-hak kesejahteraan yang sudah semestinya diterima. Bahkan Oemar Bakri tidak mampu menolak takdir diolok-olok oleh ulah nakal murid-muridnya sendiri. Pandangan terhadap sosok guru tersebut lahir karena saat itu profesi guru mendapat imbalan dan gaji yang tidak sebanding dengan besarnya biaya hidup sehari-hari, sehingga profesi guru secara matematika tidak menjamin kesejahteraan hidup bagi diri dan keluarganya.
Saat masyarakat mulai menyadari arti pentingnya pendidikan mulai ada pemikiran bahwa pendidikan bukan hanya tanggungjawab pemerintah, melainkan juga masyarakat dalam hal ini orang tua siswa. Hal ini diwujudkan dengan lahirnya Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3), yang antara lain menjembatani antara kepentingan sekolah dan orang tua siswa. Saat itulah mulai memikirkan bagaimana mengupayakan penghasilan tambahan berupa honorarium bagi guru, baik guru PNS maupun guru honorer, dengan pertimbangan bahwa gaji guru dari pemerintah belum menjamin kehidupan yang layak. Pembayaran honorarium guru itu disepakati antara pihak sekolah dan BP3 sebagai perwakilan orang tua siswa dan dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah. Jadi sifatnya resmi dan mendapat persetujuan dari Dinas Pendidikan.
Keadaan tersebut berlangsung cukup lama dan dianggap biasa, sehingga saat ini setelah lahirnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dimana BP3 berubah nama menjadi Komite Sekolah, dalam sistem MBS sekolah mempunyai keleluasaan untuk menyusun program sekolah secara mandiri sesuai karakteristik sekolah masing-masing, atas persetujuan Komite Sekolah dan Dinas Pendidikan setempat. Yang menarik  bahwa hampir disetiap sekolah menganggarkan lebih dari 50 persen untuk membayar honorarium guru, baik guru PNS maupun guru honorer dalam APBSnya. Hal inilah yang kemudian digugat oleh sebagian orang tua siswa, yang mempertanyakan khususnya guru PNS yang sudah mendapat gaji dari pemerintah mengapa harus mendapat lagi tambahan honorarium dari sekolah, yang ujung-ujungnya dibebankan kepada masyarakat melalui orang tua siswa.
Gugatan itu mencuat akhir-akhir ini setelah lahirnya UndangUndang Guru dan Dosen yang didalamnya mengatur tentang pemberian tunjangan profesi sebesar 1 kali gaji pokok bagi guru yang sudah lulus sertifikasi. Sehingga, masyarakat berpikir jika guru sudah mendapatkan jaminan kesejahteraan  yang layak dari pemerintah, mengapa harus mendapatkan lagi honorarium dari sekolah melalui APBS-nya yang biayanya dipungut dari orang tua siswa.
Bersikap Bijak
Disadari atau tidak bahwa dengan bergulirnya program sertfikasi guru telah memacu dan memicu perhatian dari berbagai komponen masyarakat kepada profesi guru. Hal ini terlihat dengan minat masyarakat yang cenderung meningkat untuk memilih menekuni profesi guru. Program sertifikasi guru yang telah bergulir sejak 2006, masih menghadapi berbagai kendala, baik dalam pelaksanaan maupun pencairan tunjangan yang semestinya diterima guru. Tunjangan profesi bagi guru  yang sudah lulus sertifikasi seharusnya diterima setiap bulan, tetapi pelaksanaannya dirapelkan selama enam bulan sekali. Itupun pelaksanaannya tidak tepat waktu.
Disisi lain pemerintah menargetkan program sertifikasi guru akan tuntas pada 2014. Ini artinya bahwa dari jumlah guru 2,7 juta di seluruh Indonesia masih banyak guru yang belum tersertifikasi, sekaligus belum menikmati tunjangan profesi guru. Oleh karena itu hendaknya masyarakat, terutama orang tua siswa, dapat bersikap bijak menyikapi masalah honorarium guru yang dianggarkan oleh sekolah yang sumber dananya dari orangtua siswa. Dimasa yang akan datang secara bertahap seiring dengan percepatan pelaksanaan sertifikasi guru, pos anggaran untuk honorarium guru PNS dalam APBS sedikit demi sedikit bisa dikurangi bahkan ditiadakan.
Dilain pihak Kepala sekolah dan dewan guru bersama komite sekolah hendaknya menyusun program, terutama menyangkut pembayaran honorarium, hendaknya berbasis kinerja. Secara bertahap seharusnya sekolah sudah mulai menerapkan pembayaran honorarium kepada guru hanya menyangkut kegiatan yang dilaksanakan guru di luar tugas pokoknya. Sekolah tidak lagi membayar jam mengajar guru, ulangan, maupun kegiatan remedial dan pengayaan, sebab kegiatan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pokok seorang guru.
Pembayaran honorarium guru lebih diutamakan kepada guru yang mendapat tugas tambahan, seperti wali kelas dan pembina kegiatan ekstra kulikuler serta pembimbingan kegiatan siswa. Bahkan besaran honorarium untuk tugas tambahan sebagai kepala sekolah, wali kelas dan pembina ekstra kulikuler bisa ditentukan oleh Dinas Pendidikan kabupaten/kota sehingga ada keseragaman dan tidak menimbulkan pro kontra di masyarakat. Dengan demikian besaran honorarium dalam APBS bisa ditekan sedemikian rupa yang pada akhirnya dapat mengurangi beban orang tua siswa.
Saat ini sebelum program sertifikasi guru tuntas maka masyarakat dan orang tua siswa, khususnya di jenjang SMA/SMK, diharapkan masih ikut membantu membiayai sumbangan biaya yang dianggarkan dalam APBS. Disisi lain hendaknya sekolah dan komite sekolah yang notabene perwakilan orang tua siswa, dalam menyusun ABPS diharapkan bersikap bijak, tidak berlebihlebihan apalagi  mengada-ngada sehingga menimbulkan biaya besar yang memberatkan orang tua siswa.
APBS yang disusun hendaknya transparan, akuntabel dan pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan. Khusus bagi guru yang sudah tersertifikasi dan menerima tunjangan profesi hendaknya dapat menunjukan kinerja yang optimal dan berupaya meningkatkan mutu pembelajaran yang pada akhirnya dapat  meningkatkan mutu pendidikan.
Peningkatan kesejahteraan guru harus berbanding lurus dengan peningkatan kualitas profesinya sebagai guru profesional. Semoga!

0 comments:

Post a Comment